Belakangan ini saya sering sekali mendapat buku gratis. Yang terakhir adalah buku yang ulasannya sedang Anda baca ini. "Diary Minni", karya M. Irfan Hidayatullah, sang Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP). Buku ini saya terima dalam keadaan yang masih hot, fresh from the penerbit, belum tersedia di toko buku. Makanya, harganya pun belum saya ketahui. Tapi ditilik dari jumlah halamannya (150), sepertinya tak akan lebih dari Rp 25 ribu deh. Bahkan mungkin hanya sekitar Rp 20 ribu.
Wah, kok malah ngomongin harga? Oke, kita mulai membedah buku ini, ya.
Secara umum, saya mengakui bahwa buku ini sangat bagus. Lihatlah covernya, bagus bukan? Menurut cerita Kang Irfan, ia mengajukan novel ini - ke penerbit - sekaligus dengan covernya. Ide yang cukup kreatif. Mungkin kita bisa meniru cara ini, agar cover buku kita nantinya benar-benar sesuai dengan keinginan kita. Tentu saja, dalam hal ini kita harus bekerja sama dengan seorang ilustrator, mungkin dia adalah teman dekat kita. Dan yang paling penting, penerbit setuju dengan cara kerja seperti ini.
Lho, apakah hanya covernya yang bagus? Tentu saja tidak. Ketika membaca halaman-halaman awal, saya langsung tertarik pada Diary Minni ini. Kang Irfan menulis dengan gaya bahasa yang sangat asyik, indah, terkadang lucu. Sebagai seorang lulusan fakultas Sastra (ia kini kuliah di S2 Fakultas Ilmu Budaya IU dan mengajar di Fakultas Sastra Unpad), ia paham betul bagaimana cara merangkai bahasa yang tetap "taat tata bahasa" tanpa harus mengorbankan daya tarik cerita. Inilah rumus yang umumnya dianut oleh para penulis fiksi yang juga lulusan fakultas Sastra:
"Untuk narasi, gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar, sesuai ejaan dan tata bahasa yang berlaku. Sedangkan untuk dialog, silahkan berkreasi sebebas-bebasnya."
Maka, kita akan melihat dua nuansa yang amat bertolak belakang pada novel ini. Untuk narasi, Kang Irfan menulis dengan gaya yang amat serius, puitis, namun tetap enak dibaca. Ia bahkan menggunakan diksi-diksi yang amat bagus, sehingga kekaguman saya tak dapat disembunyikan. Coba simak penggalan paragraf berikut:
"SMU Kencana bertengger dengan kokoh pada sebuah Senin. Siswa-siswanya belum hadir. Hanya bunga-bunga yang sedikit kusam karena debu jalanan berdiri seperti menanti keriuhan yang akan tumpah ruah sebentar lagi...." (halaman 70).Dan yang paling membuat saya terpesona adalah rangkaian kalimat pada halaman 64:
"....Dan kau kira aku tak bisa berbuat apa-apa? Padahal kau caci tubuhku, matamu seperti jijik, tapi kau laki-laki saat itu. Aku sengaja tak berteriak karena aku bisa membunuhmu tanpa bantuan siapa-siapa. Untung aku sadar ketika aku hanya menendangmu, ketika aku hanya membanting tubuhmu, ketika aku hanya menginjak dadamu. Jangan remehkan perempuan karena perempuan bisa membunuhmu tiba-tiba....."Sungguh, teknik bercerita dan pemilihan diksi yang benar-benar bikin iri!
Apakah Anda termasuk orang yang tidak suka dengan gaya bercerita seperti itu? Jangan kecewa dulu. Sesuai "rumus anak sastra" di atas, kita akan menemukan bahasa pada dialog yang benar-benar beda. Karena ini adalah novel remaja, Kang Irfan membuat dialog yang benar-benar kontras dengan narasinya. Gaul habis, bahkan terkadang sangat lucu. Coba simak penggalan berikut ini.
"Gue nginap di tempat lo ya, Nis."
"Emangnya apa apaan, Gy? Tumben. Pasti ada masalah, ya? Kalo gitu selesaiin aja tu masalah dan jangan cari masalah baru karena masalah jika terus ditumpuk akan jadi gunung masalah."
"Aaah, udah-udah, gue ngak butuh nasehat lo. Gue butuh lo bukain pagar rumah lo karena gue udah ada di depan, please."
"Ah, elo dasar gokil. Dikirain di mana. Elo emang jago mendramatisir masalah."
"Udah, Nis. Jangan berkicau mulu. Buruin buka pagar dan pintunya. Dingin, nih."
"Ah, dasar anak mami, lo."
"Iya... iya. Gue emang anak mami, so what. Yang penting lo cepat bukain pintu."
"Iya... iya... tapi gimana caranya?"
"Gimana caranya? Ya, tinggal keluar dan bukain pagarnya. Apa susahnya, Nis. Lo kan sahabat gue. Sahabat sejati gue."
"Maksud gue, gue lagi nggak di rumah, gitcuuuu."
"Apa? Lo dasar bego ya? Bilang kek dari tadi....."(halaman 59 - 60)
* * *
Dari segi ide cerita, novel ini juga amat mengagumkan. Ceritanya sebenarnya amat sederhana. Seorang siswa SMA, Miki, menemukan sebuah diary misterius yang terlempar dari lantai 3 gedung sekolahnya. Mendorong keingintahuannya untuk menguak misteri sosok si pemilik diary. Dan cerita pun berkembang. Kita segera tahu bahwa Miki adalah seorang remaja yang terasing, asyik dengan dunianya sendiri. Lantas ada Meggy, cewek super cantik yang sempurna dan memiliki segalanya, namun dinilai tidak normal karena ia memiliki sikap dan pandangan hidup yang benar-benar berbeda dari remaja pada umumnya. Ada juga Eno yang semula teguh mempertahankan keperawanannya, tapi kemudian ia goyah dan menyerahkan kehormatannya pada Bonar, sang pacar tercinta.
Buku ini hanya setebal 150 halaman, tapi ceritanya amat padat. Secara umum, saya menganggap novel ini sangat tematis. Bukan sekadar mengusung cerita yang menarik, lantas menyelipkan tema di akhir cerita, secara sekilas saja.
Saya amat menyukai cerita novel (juga film) yang tematis. Tema tersebut terasa amat kental pada setiap bagian cerita. Kondisi yang sama juga terdapat pada Diary Minni ini. Lantas, tema apakah yang diangkat oleh Kang Irfan?
Jawabanya, "Tubuh wanita."
Ups.. tubuh? Hanya tubuh? Ya, betul. Novel ini benar-benar mengenai fisik perempuan. Tapi jangan salah sangka dulu, dong. Ini tentu saja bukan cerita yang mengeksploitasi tubuh wanita. Ketua Umum FLP gitu, loch. Enggak mungkin beliau menulis cerita seperti itu, hehehehe...
Justru, novel ini mencoba mempertanyakan budaya dan pemikiran masyarakat kita, yang terlanjur mendewa-dewakan fisik manusia. Wanita yang cantik plus seksi dipuja-puja, dikejar-kejar untuk dijadikan pacar. Lantas perempuan yang jelek pun tersisih. Mereka seperti pecundang yang tak layak hidup di muka bumi ini.
Maka, mari kita dengarkan jeritan hati sesosok perempuan yang menjadi korban dari budaya pemujaan fisik tersebut:
"....Siapa yang mau bertubuh sepertiku? Siapa yang mau jadi temanku? Apalagi siapa yang mau jadi pacarku? Tapi siapa yang bisa menolak sebuah takdir? Bagaimana jika mereka menjadi diriku? Bagaimana jika wajah mereka wajahku? Bagaimana jika tubuh mereka seperti tubuhku? Tentu saja mereka takkan mau. Seperti selama ini mereka menafikanku...."
"....Bila tubuh adalah sebuah modal sosial, sebuah kekayaan yang dipertaruhkan dalam kehidupan seseorang, akulah orang yang fakir itu, akulah orang yang miskin itu. Akulah yang terlantar ditinggalkan oleh setiap kepentngan yang mengatasnamakan pergaulan...."(halaman 142 dan 146)
Jadi, itulah fenomena yang hendak ditentang oleh Kang Irfan lewat novel ini. Yang mengagumkan, si penulis menyampaikan tema menarik ini hanya lewat sebuah cerita yang sederhana; hilangnya sebuah diary. Benar-benar ide cerita yang amat unik dan patut diacungi jempol.
* * *
Sehubungan dengan fisik wanita, novel ini pun mengangkat salah satu fenomena kehidupan yang masih erat kaitannya dengan itu. Kang Irfan dengan amat cerdas merekam gaya hidup remaja saat ini, yang sarat akan nuansa pergaulan bebas, pacaran, dan seterusnya. Maka ditampilkanlah sosok Bonar dan Eno, pasangan yang menikmati hidup dengan bersenang-senang. Eno sebenarnya termasuk gadis yang masih konservatif. Ia tak mau menyerahkan keperawanannya pada Bonar sebelum mereka menikah. Tapi apa daya, di suatu Malam Minggu ia tak dapat menahan godaan itu. Dan semuanya pun terjadi.
Setelah itu, Bonar tertawa bangga karena merasa berhasil menaklukkan Eno. Tapi sebaliknya, Eno justru jadi murung. Ia merasa demikian bodoh. Ada sebuah perubahan besar pada fisiknya yang tiba-tiba membuatnya jadi pemarah dan benci pada Bonar.
Kita jadi tahu, lewat cuplikan cerita inilah, antara lain, Kang Irfan menyampaikan pesan moralnya. Yang juga membanggakan, pesan moral ini disampaikan secara amat halus, jauh dari kesan menggurui. Dan yang paling penting, tak ada "dalil-dalil agama". Semua hikmah dan pesan disampaikan secara wajar, bersama aliran cerita yang natural.
Karena itulah, saya berani mengatakan bahwa novel ini bersifat universal, cocok bagi semua kalangan, tidak hanya Islam. Memang, ada simbol-simbol Islam yang muncul, seperti Mushalla. Tapi karena berupa simbol, ia bisa diganti oleh simbol-simbol lain. Mungkin Kang Irfan menggunakan Mushalla sebagai simbol religiusitas (maaf kalau istilahnya keliru). Ia hendak menyampaikan pesan bahwa setiap manusia harus kembali pada agama. Jika ini adalah maksudnya, maka sebenarnya kita bisa mengganti simbol Mushalla tersebut dengan apapun, dan itu tak akan merusak keutuhan cerita. Yang penting, simbol pengganti tersebut masih bisa mewakili pesan yang hendak disampaikan.
Dengan demikian, saya berpendapat bahwa Diary Minni adalah novel yang sangat universal. Ia tetap bis diterima bahkan oleh pembaca yang anti agama sekalipun.
(Dan sebenarnya, sudah banyak karya penulis FLP yang lebih variatif dan universal seperti ini, jauh dari nuansa "doktrin agama" atau "tema yang itu-itu saja". Tapi tampaknya, banyak pembaca yang belum mengetahuinya).
* * *
Oke, dari tadi saya memuji melulu. Tentu novel ini pun punya kekurangan. Yup, betul. Saya melihat sejumlah kekurangan di sana-sini. Masalah penokohan misalnya. Karakter tokoh-tokoh pada novel ini belum terlalu kuat. Biasanya, jika karakter-karakter pada sebuah novel amat kuat, saya akan jatuh cinta dan merasa amat akrab dengan mereka. Tapi terhadap tokoh-tokoh pada cerita ini, saya merasa biasa-biasa saja.
Saya juga melihat ada kejanggalan pada bagian-bagian tertentu. Contohnya adalah tokoh Mami Meggy, sosok ibu yang hobi nonton sinetron, selalu mendorong anaknya untuk pacaran, pola hidupnya hanya mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Kita mungkin sudah bisa menebak, wanita seperti apakah Mami Meggy ini.
Tapi tiba-tiba, di halaman 125 ia melontarkan sebuah pendapat yang - menurut saya - amat bertolak belakang dengan karakter aslinya:
"Aku hanya dihadapkan pada ketidakpastian. Mana macet lagi. Sepertinya kita jadi objek dari permasalahan yang besar kali ini. Ternyata tidak semua bisa diatasi dengan mudah walau teknologi telah kita miliki. Ternyata ada waktunya kita merasa asing pada dunia kita sendiri. Tidakkah kamu lihat, Wan, mobil mewah kita ini nggak bisa ngapa-ngapain di tengah kemacetan...."Saya kira, rangkaian kalimat di atas adalah pendapat pribadi penulisnya. Tapi sayangnya, Kang Irfan menyampaikannya lewat tokoh yang tidak tepat. Menurut saya, seharusnya Kang Irfan dapat menyampaikan pendapat seperti ini dengan teknik yang lebih manis, sehingga tidak mengganggu keasyikan pembaca.
Yang juga cukup menganggu adalah perubahan sikap tokoh Eno dan Anis yang terasa amat tiba-tiba. Rasanya kok tidak terlalu natural, gitu loch. Untuk Eno, masih lumayan wajar karena ia baru saja kehilangan keperawanan, sebuah kejadian yang tentu amat berpengaruh pada kejiwaannya. Cukup wajar jika ia bisa berubah drastis.
Sementara Anis? Ia hanya ngobrol dengan Meggy di ruang kelas yang sepi, dan tiba-tiba ia pun berubah drastis.
Tapi terlepas dari kelemahan-kelemahan di atas, novel ini sebenarnya sangat bagus dan menarik. Secara umum, ini adalah bacaan remaja. Temanya remaja, bahasanya (terutama dialog-dialognya) pun remaja. Tapi penggarapan temanya amat mendalam, sehingga cukup layak disebut sebagai produk sastra serius.
Sebagai seorang penulis yang amat menguasai teori-teori sastra dan penulisan fiksi, Kang Irfan benar-benar cerdas dalam menerapkan ilmu yang ia miliki. Coba simak alur dan teknik berceritanya yang amat bagus, unik, jauh dari kesan klise dan standar. Dan yang paling penting, novel ini tetap asyik dibaca oleh para remaja.